Teori modal dan bunga
MAKALAH
TEORI MODAL, BUNGA
DAN PROFIT AND LOSS SHARING
OLEH :
RANDO SONY PUTRASMA : (1730403078)
MATA KULIAH :
ILMU EKONOMI MIKRO ISLAM
DOSEN
MATA KULIAH :
DR. H. SYUKRI ISKA,M.AG.
IFELDA NINGSIH,S.E.I.,MA
IFELDA NINGSIH,S.E.I.,MA
JURUSAN AKUTANSI SYARIAH
FAKULTAS
EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI
BATUSANGKAR
2018 M/1439 H
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam dunia ekonomi khususnya
yang memfokuskan pada masalah moneter dan fiskal, rasanya janggal jika tidak
membahas masalah “uang”. Dalam kehidupan manusia uang merupakan suatu alat
pemenuhan bagi kebutuhan manusia dan alat pemudah aktivitas perekonomian. Oleh
karena itu, uang sangatlah penting bagi setiap manusia. Pada awal peradaban
untuk memenuhi kebutuhannya, manusia memperoleh makanan dengan cara berburu,
kemudian dengan cara barter, kemudian menggunakan uang logam dan sampai saat
ini menggunakan uang kertas, begitu sempurnanya perkembengan uang hingga saat
ini.
Berkenaan dengan masalah uang,
sistem ekonomi yang berlaku memiliki pandangan yang berbeda. Perbedaan utama
antara ekonomi konvensional dengan ekonomi Islam yaitu dari segi filosofinya,
mengenai pandangan terhadap waktu dan uang. Ekonomi konvensional mengenal
konsep time value of money yaitu berpandangan bahwa nilai uang
yang dimiliki saat ini lebih berharga dibandingkan dengan nilai uang dimasa
yang akan datang. Sedangkan dalam Islam hanya mengenal konsep economic
value of time, yaitu konsep yang menyatakan bahwa waktulah yang
memiliki nilai ekonomi, bukan uang yang memiliki nilai waktu.Dari perbedaan
pandangan tersebut penulis mencoba mengulas mengenai “Economic Value of Time dan Time Value of Money” untuk
lebih memahami secara mendalam hal-hal yang berkaitan dengan judul tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan bunga sebagai harga modal dalam ekonomi
konvensional?
2.
Apa
pengertian profit dan loss sharing dalam ekonomi Islam?
3.
Bagaimana
konsep riba, dan time value of money?
4.
Bagaimana
economic value of time dalam ekonomi Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Bunga Sebagai Modal Dalam Konvensional
Bunga adalah sesuatu yang
melekat pada lembaga keuangan bank syariah. Secara leksikal, bunga sebagai
terjemahan dari kata interest. Secara istilah sebagaimana diungkapkan
dalam suatu kamus, bahwa interest is a charge for a financial loan, usually
a percentage of the amount loaned. Bunga adalah tangung jawab pada pinjaman
uang yang dipinjamkan. Pendapat lainnya menyatakan “interest yaitu sejumlah
uang yang dibayar atau di kalkulasikan untuk penggunakan modal. Jumlah tersebut
misalnya dinyatakan dengan satu tingkat atau presentase modal yang bersangkutan
paut dengan itu dinamakan suku bunga modal. (Muhammad, 2002, h. 28).
Dalam sisitem ekonomi
konvensional bunga merupakan harga dari uang (price of capital). Dalam
literatur-literatur ekonomi moneter banayak disebutkan bahwa tinggi rendahnya
permintaan dan penawaran akan uang tergantung pada tingkat bunga. Dalam
mekanisme ini bunga akan memilikiperilaku persisn seperti harga sebagaimana
penawarannya berlereng positif sebagaimana penawaran barang juga. Intreraksi
permintaan dan penawaran uang dan dampaknya terhadap harga modal akan mengikuti
pola seperti hukum yang normal. Kenaikan kurva permintaan uang akan uang akan
meningkatkan tingkat bunga, seandainya penawarannya diasumsikan tetap.
Sebaliknya, penurunan permintaan akan menurunkan tingkat bunga, seandainya
penawarannya juga diasumsikan tetap. Demikian seterusnya.
Tingkat bunga ditentukan oleh interaksi permintaan dan
penawaran uang. Penurunan kurva pernintaan uang dari DM ke DM’ akan menurunkan
tingkat bunga dari Rm menjadi Rm’ demikian sebaliknya. Bunga merupakan harga
uang yang memiliki perilaku sebagaimana harag barang pada umumnya.
Layakkah bunga dijadikan
sebagai harga uang atau harga modal (price of capita)? Atau pertanyaan sebelum
itu adalah layakkah uang memiliki harga? Pandangan bunga sebagai harga uang
muncul sebagai akibat adanya pandangan tentang kesamaan antara uang dengan barang
atau harta benda lainnya. Lebih lanjut Saud mengemukakan perbedaan antara uang
dengan benda ekonomi lainnya secara umum, yaitu:
a. Uang memiliki
kandungan kekayaan hanya dengan memegangnya
b. Uang tidak memliki
biaya membawa (carrying cost), biaya produksi (production cost)
c. Permintaan atas
uang bukan permintaan asli (genuine demand), tetapi akibat adanya permintaan
atas benda-benda ekonomi yang dapat dibeli dengan barang
d. Uang tidak terkena
biaya depresiasi sebgaimana benda ekonomi lainnya
e. Uang merupakan suatu
kesepakatan sosial yang fungsinya lebih didasarkan atas adanya kepercayaan
daripada nilai intrisiknya
Sementara itu, terdapat juga
kerancuan pandangan antara uang dengan modal/kapital. Kebanyakan ekonomi Barat
menyamakan udang denga modal, sehingga mereka memperlakukan uang sebagaimana
modal atau barang-barang modal lainnya (capital good). Padahal, sebenarnya
terdapat perbedaan yang mendasar antara uang dengan modal, sebagaimana dalam
Tabel 12.1
Tabel
12.1
Perbedaan antara Uang dengan
Modal
UANG TIDAK SAMA DENGAN MODAL
|
|
Modal adalah private
good
|
Uang adalah public
good
|
Modal merupakan stock
concept
|
Uang merupakan flow
concept
|
(Anto, 2003, 239-241).
B. Profit And Loss Sharing dalam Ekonomi Islam
Bagi hasil menurut terminologi asing (Inggris) dikenal dengan profit sharing. Dalam kamus ekonomi
diartikan pembagian laba dan distribusi beberapa bagian dari laba para pegawai
dari suatu perusahaan. Karena pembagian tidak hanya ketika memperoleh
keuntungan, tetapi juga pada saat mengalami kerugian maka disebutlah sebagai
perjanjian profit and loss sharing (Muhammad, 2005, h. 77).
Sebagai alternatif penggantinya
ajaran Islam menawarkan konsep loss-profit sharing atau bagi untung dan rugi (sering disebut bagi
saja) yang dipandang lebih mencerminkan keadilan bagi para pelaku ekonomi.
Konsep ini dengan mudah dijumpai dalam praktek masyarakat Islam pada masa
Rasulullah SAW dan sahabat hingga masyarakat muslim saat ini. Sebenarnya, dalam
perekonomian modern pembiyaan dengan sistem loss profit sharing ini bisa
terjadi dalam berbagai kegiatan penyertaan modal (equty financing) dalam
bisnis. Kepemilihan saham akan menerima keuntungan berupa deviden sekaligus
menanggung resiko jika perusahaan mengalami kerugian.
Perbedaan yang paling penting
adalah soal ada tidaknya pembagian resiko dan keuntungan, dimana dalam sistem
bunga hal ini tidak terjadi (no risk and return sharing).Sekali tingkat bunga
ditetapkan maka menjadi kewajiban bagi penerima pinjaman untuk membayarnya,
tidak peduli apakah dana yang dimanfaatkan itu mendapatkan keuntungan atau
kerugian. Sebaliknya, bunga menjadi suatu perolehan tetap dan pasti (fixed and certain return) bagi pihak
kreditur. Tingkat bunga ditentukan pada saat akad pinjaman dibuat (pre determined) dalam ukuran persentase
terhadap nilai pokok pinjaman.
Dalam sistem bagi hasil tidak
terdapat suatu fixed and certain return
sebagaimana bunga, tetapi dilakukan loss
and profit sharing berdasar produktifitas nyata dari dana tersebut. Dalam
perjanjian bagi hasil yang disepakati adalah proporsi pembagian hasil (sering
disebut juga nisbah bagi hasil). Dalam ukuran persentase atas kemukinan hasil
produktifitas nyata, nilai nominal bagi hasil yang nyata diterima dengan
sendirinya baru dapat diketahui setelah hasil pemanfaatan dan tersebut
benar-benar telah ada (ex post
phenomenon, bukan ex ante). Jadi, terdapat kemungkinan fluktuasi dalam bagi
hasil yang nyata, tergantung pada produktifitas nyata dari pemanfaatan dana
ini. Nisbah bagi hasil ditentukan berdasarkan kesepakatan pihak-pihak yang
berkerja sama. Besarnya nisbah biasanya akan dipengharui oleh pertimbangan
kontribusi masing-masing pihak dalam kerja sama (sharing on partnership), prospek perolehan keuntungan (expected
return) maupun tingkat resiko yang mungkin terjadi atatu dihadapi (expected risk). Secara sederhana hal ini
dapat diinformasikan menjadi:
NBH = f ( S, r, 0)
Di mana:
NBH : nisbah bagi hasil
S : share on partnership
r : expected return
0
: expected risk
Dengan sistem loss profit sharing ini maka sebenarnya
harga modal ditentukan secara bersama dengan peran dari kewirausahaan.
Keduannya, price of capital dan enterpreneuship, merupakan kesatuan
integratif yang secara bersama-sama harus diperhitungan dalam menentukan harga
faktor produksi. Dalam pandanga islam , uang dapat berkembang hanya dengan suatu produktifitas nyata. Dikalangan
para ekonomi sendiripun juga para pemikir pada umunya banyak yang tidak sepakat
dengan sistem bunga. Teori-teori bunga yang ada saat ini, baik teori moneter
maupun mumi tidak cukup memadai untuk memberi argumentasi bagi eksistensi dan
perilaku bunga.
Bunga
|
Loss Profit Sharing
|
Tidak terdapa risk and return sharing
|
Berdasarkan risk and return sharing
|
Besaran bunga
ditentukan pada saat akad dibuat. Jadi terdapat asumsi pemakian dana pasti
mendatangkan keuntungan
|
Besaran nisbah
bagi hasil disepakati pada saat akad dibuat dengan berpedoman pada
kemungkinan adanya resiko untung - rugi
|
Besaran bunga
berdasarkan persentase atas modal (pokok pinjaman)
|
Besaran nisbah
bagi hasil berdasarkan persentase atas keuntungan diperoleh
|
Besaran buanga
biasanya lebih ditentukan berdasarkan tingkat bunga pasdar (market interest rate)
|
Besaran nisbah bagi
hasil disepakati lebih didasarkan atas kontribusi masing-masing pihak,
prospek perolehan keuntugan, dan tingkat resiko yang mungkin terjadi
|
Pembayaran bunga
tetap sebagaimana dalam perjanjian, tidak terpengaruh pada hasil riil dari
permanfaatan dana
|
Jumlah nominal
bagi hasil akan berfluktuasi sesuai dengan keuntungan riil dari pemanafaatan dana
|
Eksistensi bunga
diragukan oleh hampir semua agama samawi, para pemikir besar, bahkan ekonomi
|
Eksistensinya
berdasarkan nilai-nilai keadilan yang bersumber dari syariah
|
(Anto, 2003,
242-244).
Berdasarkan kenyataan itu, perlu
adanya titik temu agar keinginan para pihak tersebut dapat disatukan satu sama
lain. Kerjasama profit and loss sharing antara pemilik modal dan pelaksana
usaha merupakan langkah tepat, sebagaimana yang sudah dilakukan Nabi Muhammad
Saw ketika bekerjasama dengan seorang pelaku usaha wanita bernama Siti
Khadijah. Adapun caranya, Khadijah menyerahkan modal berupa barang dagangan
untuk dibawa Muhammad berniaga antara negeri Makkah dengan sham (Syiria) (Karim, 1997, h. 14).
C. Konsep Riba, dan Time Value of Money
Sejarah
telah mencatat bahwa kata riba dikenal sebagai istilah yang sangat erat
kaitannya dengan kegiatan ekonomi. Kata riba berasal dari bahasa Arab, Secara
etimologis kata ‘al-riba’ bermakna ‘al-ziyadah’ yang berarti tambahan dan
tumbuh, ‘al-numuw’ yang berarti berkembang, ‘al-uluw’ yang berarti membesar dan
‘al-irtifa’ yang berarti meningkat. Riba secara harfiah berarti tambahan atau
lebihan. Saat ini riba diidentikan dengan bunga (Ali, 2008: 78). Bunga adalah
imbalan yang dibayarkan oleh peminjam atas dana yang diterima, dan biasanya
dinyatakan dalam persen (Tim Penyusun BI, 1999: 47). Sedangkan secara
terminologis, riba secara umum didefinisikan sebagai kelebihan keuntungan
(harta) dari salah satu pihak terhadap pihak lain dalam transaksi jual beli
atau pertukaran barang yang sejenis dengan tanpa memberikan imbalan terhadap
kelebihan tersebut (Al-Jaziri, 1972: 221). Berdasarkan kutipan Fatwa MUI No.1
Tahun 2004 pengertian bunga adalah tambahan yang dikenakan dalam transaksi
pinjaman uang (al-qardh) yang diperhitungkan dari pokok pinjaman tanpa
mempertimbangkan pemanfaatan/ hasil pokok tersebut, berdasarkan tempo waktu,
diperhitungkan secara pasti dimuka dan pada umumnya berdasarkan persentase. Dan
pengertian riba adalah tambahan (ziyadah) tanpa imbalan yang terjadi karena
penangguhan dalam pembayaran yang diperjanjikan sebelumnya. Riba sering
diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai “usury” yang berarti tambahan uang
atas modal yang diperoleh dengan cara yang dilarang oleh syara’, baik dengan
jumlah tambahan yang sedikit ataupun dengan jumlah tambahan yang banyak.
Sehingga dapat ditarik benang merah bahwa riba adalah tambahan yang disyaratkan
dan harus dibayarkan oleh salah satu pihak ketika menerima pinjaman sejumlah
uang dengan alasan adanya perbedaan nilai oleh adanya perbedaan waktu (http://muqtasid.iainsalatiga.ac.id/index.php/muqtasid/article/download/853/639).
Konsep time value
of money atau nilai waktu uang. Konsep nilai uang di masa kini akan lebih
berharga dibandingkan dengan di masa
mendatang. Dengan kata lain, terdapat sebuah positive time preference. Konsep inilah yang kemudian melahirkan
salah satu teori tentang bunga, yaitu teori agio. Menurut Von Bhom Bawerk
konsep positive time preference merupakan sebuah kewajaran, terdapat dalam pola
ekonomi yang normal, sistematis dan rasional.
Secara matematis konsep positive time preference ini
sering diformulasikan sebagai berikut:
FV = PV (1`+ r)n
Dimana :
FV : future value of money
PV : present value of money
r : tingkat bunga
n : periode waktu
Islam melarang riba sesungguhnya itu pertanyaan ini mudah
dijawab, karena riba atau bunga pada dasarnya adalah sebuah tambahan yang
ditentukan dimuka (pre determined).
Ajaran Islam memang sangat menghargai waktu, sebab waktu itu yang menentukan
awal dan akhirnya bukan manusia, melainkan Allah swt. Waktu didunia ini ada
awal dan akhirnya, sedangkan pada masa berikutnya yaitu di alam akhirat manusia
akan diminta pertaggungajawaban tentang penggunaan waktu ini. Jadi waktulah
yang sungguh berharga, dan harganya ditentukan oleh pemanfaantannya untuk
berbagai aktivitas. Menurut M Akram Khan (1992) menyebutkan bahwa pelaranga ini
bukan saja karena Islam menolak konsep posotive time preference, tetapi juga
karena “time value of money is an unsound cancept on rational ground”.
Penerimaan terhadap diskonto merupakan legitinasi terhadap bunga dan membuka
kembali pintu masuknya riba dalam perekonomian. Ekonomi islami menolak konsep
positive time preference, sebab tidak ada pengetahuan yang pasti tentang masa
depan. Dengan demikian kemungkinan dapat terjadi positive zero atau negative
time preference. Islam tidak mengenal time
velue of money, tetapi money value of
time. Akan tetapi, terdapat perbedaan tentang boleh tidaknya digunakan
suatu tingkat diskonto sebagai faktor penghitung efisien. Sebagaian berpendapat
boleh, sebagian lain berpendapat tidak boleh, karena hal ini akan membuka
kembali sistem bunga (Anto, 2003, 248-249).
D. Economic Value Of time dalam Ekonomi Islam
Economic value of time adalah sebuah konsep
dimana waktulah yang memiliki nilai ekonomi, bukanlah uang memiliki nilai
waktu. Economic value of time memiliki arti memaksimumkan
nilai ekonomis suatu dana pada periodik waktu.
Teori economic value of time berkembang
pada abad ke-7 masehi. Pada masa saat digunakannya emas dan perak sebagai alat
tukar. Logam ini diterima sebagai alat tukar disebabkan nilai intrinsiknya,
bukan karena mekanisme untuk dikembangkan, sehingga hubungan debetur/kreditur
yang muncul bukan kerena akibat transaksi secara lansung, namun jelas merupakan
transaksi “permintaan uang”. Didalam
Islam, keuntungan bukan saja keuntungan di dunia, namun yang dicari adalah
keuntungan di dunia dan di akhirat. Oleh karena itu, pemanfaatan waktu itu
bukan saja harus efektif dan efisien, namun harus juga didasari dengan
keimanan. Keimanan inilah yang akan mendatangkan keuntungan di akhirat. Sebaliknya,
keimanan yang tidak mampu mendatangkan keuntungan di dunia berarti keimanan
yang tidak di amalkan.
Dalam Al-Qur’an disebutkan nilai waktu, termasuk nilai
ekonomi waktu ditentukan oleh keimanan, amal baik, saling mengingatkan dalam
hal kebaikan dan kesabaran. Firman Allah Q.S Al-Ashr yang artinya sebagai
berikut:
“ Demi masa. Sungguh manusia berada dalam
kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta
saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran”.
Konsep konvensioanal mengenai dicounting menyatakan, bahwa dua barang yang sama pada dua titik
waktu berbeda memiliki dua nilai yang berbeda karena dilibatkannya unsur waktu.
Oleh karena itu di dalam pemikiran konvensioanal, konsumsi saat ini selalu
lebih disukai daripada konsumsi nanti, maka nilai di masa yang akan datang itu
harus didiskontokan untuk menjadikannya dapat dibandingkan dengan nilai
sekarang. Tingkat bunga berfungsi sebagai tingkat diskonto. Beberapa ahli
ekonomi Islam telah menjawab pertanyaan tersebut di dalam kesetujuan. Mereka memulakan
denga menerangkan, bahwa bay’ mu’ajjal dan bay’ al-salam itu merupakan mode perdagangan yang dibolehkan di
dalam Islam. Di dalam kedua tipe jual-beli tersebut, harga sebuah komoditas
yang dijual pada harga, berturut-turut, berbasis kredit dan pembayaran di muka,
dapat berbeda dengan harga dengan tunai. Dalam padangan mereka, hal itu sudah
cukup membuktikan, bahwa Islam mengakui perbedaan nilai karena adanya usur
waktu, yakni bahwa Islam mempunyai sebuah konsep tentang preferensi waktu.
Perbedaan antara nilai sekarang dan nilai nanti untuk
komoditas yang sama tidak berarti telah dibolehkan oleh para ahli hukum Islam
karena keterlibatan unsur waktu. Mereka tidak pernah mengatakan, bahwa harga di
masa medatang dalam bay’ muajjal
harus lebih tinggi daripada harga tunainya. Demikian pula, dalam persoalan bay’ al-salam, kebolehan adanya
perbedaan harga antara masa kini dan masa yang akan datang itu mungkin sekali
hanyalah pengakua, bahwa penawaran dan permintaan akan menyebabkan harga
berfluktuasi dari waktu ke waktu. Adalah masuk akal bahwa harga pasar aktual
suatu barang ketika dikirimkan dapat lebih rendah daripada harga yang dibayar
oleh pembelian pada waktu dibuat kontrak. Memang resiko inilah membenarkan laba
yang diterima, jika harga pasar aktual di waktu pengeriman lebih tinggi
daripada waktu dibuatnya kontrak.
Dengan demikian, tidaklah
benar orang yang berpendapat, bahwa diizinkannya bay’ muajjal dan bay’ al-salam itu merupakan pengakuan
yang tidak sah tentang konsep nilai waktu yang sebanarnya. Mungkin memang
merupakan pengakuan atas sebagian dari nilai waktu tetapi sifatnya masih perlu
dipahami dengan jelas. Berikut rumus return neto:
r
= (R X t + C) : M
di
mana r = time value of money neto
R
= sewa aset pertahun
T
= jumlah tahun selama aset itu disewakan
C
= nilai nominal aset di waktu berakhirnya kontrak sewa
M
= uang yang dinvestasikan
Dapat dilihat, bahwa baik t
maupun C itu pasti dan hanya dapat ditentukan sesudah berakhirnya masa sewa.
Denga begitu, jika sewa dianggap mengandung niai waktu, ia merupakan nilia yang
tidak dapat ditentukan di muka.
Dalam menjelaskan lebih jauh
bahwa Islam tidak membolehkan time value
of money yang ditetapkan di muka, disampaikan di sini sebuah contoh dari
kontrak sewa finansial konvensional. Dalam persewaan tersebut, sebuah asset
fisik disewakan dengan syarat-syarat berikut:
a.
Pengguna aset bertanggung jawab merawat aset itu.
b.
Pengguna membeli aset itu di akhir masa kontrak, dengan
harga yang ditetapkan dimuka, tanpa melihat kondisi aset itu, bahkan
sekalipunaset itu sudah tidak ada lagi di akhir masa kontrak.
c.
Kontrak tersebut tidak dapat dibatalkan sebelum waktu
berakhirnya kontrak.
Pelarangan itu juga terlihat
dari prinsip fiqh yang lain, yang menyatakan ‘tidak ada kompensassi bagi waktu
(saja)’. Misalnya, jika seseorang berhutang katakanlah sebesar $1000 dari orang
lain selama setahun, lalu dia atau pemberi hutang ingin mengatur (misalnya sesudah enam bulan) bahwa $500
dibayar langsung dan $500 dibebaskan sebagai pengganti bagi pembayaran yang
dilakukan lebih cepat, itu dilarang. Negosiasi seperti itu tidak debenarkan di dalam Islam.
Dalam pembahasan diatas, kita
telah berusaha menerangkan bahwa jika ada konsep time value of money di dalam Islam, maka haruslah bersifat expost.
Tetapi di dalam mu’ajjal, harga lebih tinggi yang ditetapkan di muka dibolehkan
jika dilakukan dengan mencicil. Jadi harga yang lebih tinggi pada akad bay’ mu’ajjal itu tidak dapat
dihubungkan melulu dengan preferensi waktu. Bay’
mu’ajjal itu dibolehkan karena dua faktor sekaligus, yakni preferensi waktu
dan kondisi penawaran permintaan (Khan, 2014, 183-187).
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Bunga adalah tangung jawab pada pinjaman uang yang
dipinjamkan. Pendapat lainnya menyatakan “interest yaitu sejumlah uang yang
dibayar atau di kalkulasikan untuk penggunakan modal. Jumlah tersebut misalnya
dinyatakan dengan satu tingkat atau presentase modal yang bersangkutan paut
dengan itu dinamakan suku bunga modal.
Dalam sistem
ekonomi konvensional bunga merupakan harga dari uang (price of capital). Dalam
literatur-literatur ekonomi moneter banyak disebutkan bahwa tinggi rendahnya
permintaan dan penawaran akan uang tergantung pada tingkat bunga. Dalam
mekanisme ini bunga akan memiliki perilaku persis seperti harga sebagaimana
pada pasar barang.
Profit and
Loss Sharing merupakan perjanjian atas sesuatu jenis perkongsian, dimana pihak
pertama (shahibul maal) menyediakan dana dan pihak kedua (mudharib) bertanggung
jawab atas pengelolaan usaha. Keuntungan hasil usaha dibagi sesuai dengan
nisbah porsi bagi hasil yang telah disepakati bersama sejak awal. Maka kalau
mengalami kerugian shahibul maal akan kehilangan sebahagian imbalan dari hasil
kerja keras dan manajerial skill selama proyek berlangsung.
Dalam
pandangan Islam, uang tidak dapat dipastikan akan menghasilkan keuntungan di
masa depan, sebab tiada seorangpun yang dapat memastikan apa yang akan terjadi dimasa
depan.
Economic
value of time merupakan sebuah konsep dimana waktulah yang memiliki nilai
ekonomi, bukankah uang memiliki nilai waktu. Economic value of time memiliki
arti memaksimumkan nilai ekonomis suatu dana pada periodik tertentu.
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
Anto, Hendri. 2003. Pengantar Ekonomi
Mikro Islami. Yokyakarta : Jala Sutra.
Karim, Helmi. 1997. Fiqh Muamalah. Jakarta
: PT Raja Grafindo Persada.
Khan, M Fahim. 2014. Esai-esai
Ekonomi Islam. Jakarta : Rajawali Press.
Muhammad. 2005. Bank Syariah di
Indonesia Analisa Kebijakan Pemerintah Indonesia Terhadap Perbankan Syariah.
Yokyakarta : UII press.
Komentar
Posting Komentar